MUI Jawa Timur: Genapkan Hitungan Zakat Fitrah Menjadi 3 Kilogram Beras
KH Abdurrahman Nafis
Surabaya (SI Online) -
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menerbitkan anjuran agar umat
Muslim dalam menghitung zakat fitrah yang penyalurannya ditunaikan
selama bulan Ramadhan, dengan menggenapkan hitungan menjadi 3 Kilogram
per orang, dari 2,5 Kilogram seorang pada perhitungan sebelum ini.
Ketua Bidang Fatwa MUI Jawa Timur, KH. Abdurrahman Nafis, menyampaikan
anjuran itu; yang sebenarnya sebagai ulangan atas anjuran yang sama yang
sudah disampaikan sejak beberapa tahun lalu, yang ternyata selama ini
tidak tersampaikan dengan baik. Di harapkan, tahun ini dengan semakin
berkembangnya jenis media yang sudah semakin beragam, pesan anjuran
tersebut dapat tersampaikan dengan lebih luas.
Penggenapan pada besaran zakat fitrah, menurut KH. Abdurrahman Nafis,
diharapkan dapat menjadi jalan tengah atas peredebatan dan polemik, yang
selama ini berkembang berkaitan dengan jumlah besaran zakat fitrah,
sebagai hasil dari konversi ukuran (takaran); dari ketentuan yang telah
diatur dengan Sunnah Nabi Muhammad Saw ke dalam ukuran Kilogram yang
berlaku di Indonesia.
Zakat fitran yang harus ditunaikan oleh setiap umat Islam untuk
menyempurnakan ibadah shiyam-nya ini; di Zaman Rasulullah Saw besarnya
dengan sebutan ukuran satu Sha’ atau sama dengan empat Mud. Setelah
ukuran Mud kemudian dikonversi ke dalam Kilogram, muncul berbagai
pendapat. Sebagian ‘Ulama berpendapat, satu Mud sama dengan 0,60
Kilogram atau 6 Ons, sehingga besaran zakat fitrah empat Mud sama
dengan 2,4 Kilogram, yang kemudian dibulatkan menjadi 2,5 Kilogram.
Ada yang berpendapat satu Mud sama dengan 0,65 Kilogram atau 6,5 Ons.
Sehingga dalam hitungan empat Mud menjadi 2,6 Kilogram. Pendapat yang
lain menyebutkan satu Mud sama dengan 0,70 Kilogram atau 7 Ons, sehingga
dalam perhitungan empat Mud sama dengan 2,8 Kilogram. Pendapat yang
muncul kemudian, menganggap pada pendapat sebelumnya terdapat kekurangan
ukuran. Sehingga timbul silang pendapat demikian, dirasakan sampai
sekarang belum ada titik temu.
“Menyikapi silang pendapat itu, MUI Jawa Timur memandang perlu
menyodorkan anjuran sebagai jalan keluar, dengan membulatkan hitungan
besaran Zakat Fitrah yang wajib ditunaikan Umat Muslim sekali dalam
setahun, menjadi sebesar 3 Kilogram seorang,” ungkap KH. Abdurrahman
Nafis dengan menambahkan;Setelah mengeluarkan zakat sebesar 3 Kilogram
seorang, jika memang ada kelebihan hitungan, maka dapat dianggap sebagai
shodaqoh untuk dluafa’, fakir dan miskin.
Pada bagian lain KH. Abdurrahman Nafis juga berharap agar Pemerintah
Daerah se Jawa Timur, juga segenap jajaran MUI di tingkat Kabupaten dan
Kota se Jawa Timur, ikut membantu penyebarluasan anjuran ini. Sehingga
anjuran yang sebenarnya telah diterbitkan dalam beberapa tahun silam,
kali ini benar-benar dapat sampai secara luas kepada segenap Umat
Muslim.
Rep : Muhammad Halwan / dbs
Inilah 8 Golongan Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Jelang hari raya Idul Fitri, umat muslim memiliki kewajiban mengeluarkan zakat fitrah.
Zakat fitrah wajib dibayarkan orang beragama islam sebelum salat Ied di Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal).
Ada delapan golongan yang berhak untuk menerima zakat fitrah menurut Al Qur’an Al Karim.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir,
[2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit
utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan.” (Qs. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata
“innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan
golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1] Golongan pertama dan kedua adalah Fakir dan Miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang
mencukupi kebutuhan mereka. Para ulama berselisih pendapat manakah yang
kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan
Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan
mereka karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru
miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi
kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap
harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut
atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan
miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari
separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah
yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.”[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki
harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak
halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun
hartanya mencapai nishob, maka ia halal untuk mendapati zakat. Oleh
karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah
mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat
mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat
tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau
tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik
kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya.
Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya
serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara
sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi
orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja,
pen)”[8]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar
kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung
dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi
patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan
setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk
setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran
nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian
kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat
jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[9] Golongan ketiga: Amil Zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat
mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits
disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ
اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ
فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu
orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang
terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau
orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut
diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan
memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari
lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat
oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari
orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga
harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja
di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat
adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat
dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula
termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta
orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski
sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga
yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah
orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari
orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan
mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja
mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan
orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka
tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka
sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan
penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala.
Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka
orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain
bukan dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut
sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa
muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga
panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang
mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini
sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang
dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah
sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk
mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk
membayar zakat. Golongan keempat: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong
orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[15] Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak
mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi
pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan
muslim yang ada di tangan orang kafir.[16] Golongan keenam: orang yang terlilit utang
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: Yang berutang adalah seorang muslim.
Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
Utang tersebut membuat ia dipenjara.
Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih
tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut
mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan
orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun
untuk kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ
بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ
يُمْسِكَ
“Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi tiga orang;
yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia
meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu
ia berhenti (untuk meminta-minta).”[17]
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai
jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin
utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi
utang.[18] Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun
bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan
Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk
kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan
fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan
perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik
muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19] Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke
negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke
negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi
syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu
sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia
adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar
maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk
kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan.
Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan
dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan
golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru
ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat
yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:
Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan
lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya
zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan
ibadah wajib lainnya.
Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir.
Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya
adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui
dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk
maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah seharusnya setiap orang
memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan
fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya.
Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang
berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan
atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman
lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong
dalam berbuat maksiat.”[22]. Laporan: cr11/Jabbar/Muhammad Abduh Tuasikal